Boestami Abdya |
“Masa lalu tak bisa diraih kembali,
kendati kita dapat belajar darinya‚ masa depan belum kita miliki tapi kita
harus merencanakannya. Saatnya adalah sekarang. Yang kita miliki hanya hari ini”.–
Charles Hummell
Faktanya,
sejarah mencatat bahwa “kemerdekaan
Negara Kesatuan Republik Indonesia dimulai dengan adanya kesadaran kolekif kaum
muda dan semangat nasionalisme yang kuat dengan ditandai lahirnya organisasi
Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908 dan ikrar kebangsaan Sumpah Pemuda pada tanggal
28 Oktober 1928”(Mulyadi P. Tamsil‚2016).
Tak ubahnya sebuah pergerakan
Himpunan mahasiswa Islam atau disingkat HMI‚ yang juga lahir atas dasar
kesadaran mahasiswa tingkat pertama ialah Ayahanda Lafran Pane‚ dkk. Kesadaran
ini tumbuh karena didasari pada ketauhidan baik secara personal maupun sosial.
Dimana kondisi mahasiswa khususnya dan juga masyarakat pada umumnya kehilangan
jati diri terhadap nilai - nilai KeIslaman dan KeIndonesia ketika itu. Sehingga‚
sejak awal berdirinya HMI mempunyai komitmen asasi yang disebut dengan dua
komitmen asasi, yakni Pertama‚
Mempertahankan negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat bangsa
Indonesia, yang dikenal dengan komitmen KeIndonesia/Kebangsaan, dan Kedua‚ Menjalankkan/Menegakkan dan
mengembangkan ajaran Islam, yang dikenal dengan wawasan Keislaman/keumatan.
Maka,
atas kondisi ini, Lafran Pane dan kawan - kawanya berinisitaif mendirikan
organisasi kemahasiswaan yang berlabelkan Islam. Organisasi tersebut kemudian
diberi nama Himpunan Mahasiswa Islam atau disingkat HMI. Meskipun pada waktu
itu status ia sendiri adalah sebagai salah satu pengurus PMY, dengan mendirikan
HMI, ia dibenci oleh kawan - kawannya di PMY dan bahkan kemudian dipecat dari
anggota PMY. Ia dianggap sebagai pembangkang dan sosok yang akan mengancam
keberadan PMY.
Menurut
Lafran Pane, motivasi utama didirikannya HMI adalah sebagai berikut :
“… Sebagai alat mengajak mahasiswa -
mahasiswa mempelajari, mendalami ajaran Islam agar mereka kelak sebagai calon
sarjana, tokoh masyarakat maupun negarawan, terdapat keseimbangan tugas dunia -
akhirat, akal - kalbu, serta iman - ilmu pengetahuan, yang sekarang ini keadaan
kemahasiswaan di Indonesia diancam krisis keseimbangan yang sangat
membahayakan, karena sistem pendidikan barat. Islam harus dikembangkan dan
disebarluaskan di kalangan masyarakat mahasiswa di luar STI (Sekolah Tinggi
Islam), apalagi PMY secara tegas menyatakan berdasarkan non-agama…” (Saleh, 1996).
Rekaman
serpihan sejarah ini sengaja diangkat untuk menggambarkan betapa tidak mudah
mengembangkan tradisi intelektual. Namun demikian, sisi yang lain melukiskan
betapa penting tradisi tersebut dijaga, dirawat, dikembangkan, dan dibangkitkan
secara terus - menerus dalam dinamika kehidupan HMI. Sejarah mencatat bahwa HMI
pernah melahirkan cendekiawan besar Nurcholish Madjid, juga banyak tokoh
lainnya, dan sebaliknya kehadiran sosok Nurcholish Madjid telah memberikan
warna dan nafas intelektual dalam sejarah HMI. Intelektualitas dan
intelektualisme adalah pertanda hidupnya dari organisasi mahasiswa dan
komunitas - komunitas terdidik.
Dalam
sambutan Ketua Umum PB HMI Periode 2013 - 2015 Kakanda Muh. Arief Rosyid Hasan pada Dies Natalis HMI ke 68‚
mengatakan; “Sejarah HMI menjadi berharga karena dukungannya secara terus - menerus
terhadap perkembangan bangsa Indonesia. Figur - figur besar seperti Lafran
Pane, Ahmad Dahlan Ranuwihardjo, Nurcholish Madjid, atau para syahid seperti
Ahmad Wahib dan Cak Munir, adalah telaga hikmah yang menyediakan teladan bagi
kita semua untuk terus menyegarkan semangat dalam berjuang bagi kemajuan
masyarakat. Dari mereka kita belajar, siapa mau berjuang niscaya harus bersedia
menanggung kerugian kecil dan bersifat sementara untuk diri sendiri, dengan
berani memusatkan perhatian pada usaha mewujudkan kebajikan bagi orang banyak.
Suatu usaha yang dilandasi keyakinan bahwa tidak ada keberhasilan tanpa jerih
payah, sebagaimana tidak akan ada bahagia hari raya tanpa berpuasa”.
“Sudah saatnya HMI kembali mengevaluasi diri,
tidak hanya bernostalgia dengan romantisme sejarah kebesaran HMI. Karena jauh
kedepan tantangan zaman senantiasa berbeda. Hal inilah yang harusnya menjadi
fokus perhatian HMI untuk selalu menyiapkan kader - kader intelektual dan
professional yang merupakan output perkaderan HMI dengan harapan akan mampu
menjawab setiap tantangan zaman”(Harian Pelita‚ Hal 19‚ Kamis‚ 27 Desember
2012). Kaderisasi ini secara umum akan menghasilkan kader - kader yang bersikap
dan berperilaku kosmopolitan, yaitu seorang kader yang mempunyai wawasan dan
pengetahuan yang luas, terbuka dan tidak parokialistik (berwawasan sempit dan
picik) serta toleran atau sikap saling menghargai, karena sikap fanatik
terhadap madzab atau golongan sendiri yang menyebabkan mundurnya suatu
peradaban. Dengan sikap inklusivisme inilah akan dapat mengembalikan HMI
menjadi anak umat dan bangsa.
Tantangan
sebagai kader Umat dan Kader Bangsa‚ HMI terus dihadapkan dengan berbagai
kompleksitas dan perubahan sosial masyarakat Indonesia. Keberagaman inilah
menjadikan tantangan HMI menjadi lebih komplek pula. Mulai dari dinamika
perubahan sosial‚ pemikiran‚ Ancaman baik dari internal maupun Eksternal serta
pengaruh Era Globalisasi dan tantangan dunia organisasi kemahasiswaan. Disamping
itu juga secara IPTEK‚ HMI harusnya telah mampu memanfaatkan Teknologi sebagai
peluang untuk terus menjadikan HMI sebagai Organisasi Modern‚ Seperti penulis
Kutip Statement Kakanda Akbar Tandjung “Sebaran
kader-kader HMI kini kian meluas di berbagai daerah di Indonesia, yakni
mencapai 600.000-an kader dengan jumlah 215 cabang se-Indonesia. Hanya saja,
pendataan tentang jumlah keanggotaan baik keanggotaan kader, maupun alumni
belum terdata secara valid. "Kedepan perlu adanya modernisasi dengan
sistem pendataan secara online, sehingga kader-kader organisasi ini bisa
terlacak secara online," (Republika News‚ Kamis , 27 April 2017, 16:35
WIB). Oleh sebab itu setiap kader HMI memiliki kewajiban menuntut ilmu dan
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai kunci kemajuaan dan
bersedia mengamalkannya dengan ikhlas sebagai ikhtiar untuk membangun dan
mengabdi pada umat, bangsa dan Negara.
Akhirnya‚
penulis sadari masih kurangnya analisa kritis untuk memadai penulisan ini‚
kepada pembaca penulis minta maaf jika ada kesalahan tutur kata yang tidak
sesuai‚ namun penulis yakini bahwa ini merupakan ijtihad penulis sebagai kader
HMI untuk terus berproses dalam mencapai 5 Kualitas Insan Cita‚ Semoga tulisan
ini bermanfaat bagi penulis sendiri dan juga bagi kita semua. Wallahu ‘alam..
Yakinkan Dengan Iman
Usahakan Dengan Ilmu
Sampaikan Dengan Amal...
Source : INDEPENDENSI.id