Lafran Pane, seorang
mahasiswa Sekolah Tinggi Islam (STI) (kini UII- Universitas Islam Indonesia)
yang baru duduk di tingkat I, mengadakan pembicaraan dengan teman-teman
mengenai gagasan pembentukan organisasi mahasiswa Islam. Lafran Pane lantas
mengundang para mahasiswa Islam yang ada di Yogyakarta baik yang ada di STI,
Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada, Sekolah Tinggi Teknik (STT), guna
menghadiri rapat, membicarakan maksud tersebut. Rapat dihadiri lebih kurang 30
orang mahasiswa, di antaranya terdapat anggota PMY dan GPII. Rapat-rapat yang
sudah berulang kali dilaksanakan, belum membawa hasil, karena ditentang oleh
PMY. Dengan mengadakan rapat tanpa undangan, secara mendadak, mempergunakan jam
kuliah tafsir Bapak Husin Yahya almarhum ( mantan Dekan Fakultas Adab IAIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta ), diselenggarakanlah pertemuan untuk mendeklarasikan
berdirinya HMI. Yang menarik dalam rapat yang bertempat di Jl. Setyodiningratan
30 (Sekarang P. Senopati 30) dan dihadiri oleh lebih kurang dari 20 mahasiswa, Lafran
Pane berkata, “Hari ini adalah pembentukan organisasi mahasiswa Islam, karena
persiapan yang diperlukan sudah beres. Yang mau menerima HMI sajalah yang
diajak untuk mendirikan HMI, dan yang menentang biarlah terus menentang, toh
tanpa mereka organisasi ini bisa berdiri dan berjalan.” Jika diperhatikan, Penggunaan
kata pada kalimat beliau terlihat bahwa ada ketegasan disana dan ini merupakan
sosok pemimpin yang kuat dan bijak.
Sementara itu, selain Lafran Pane sebagai tokoh pemula,
pendiri HMI antara lain Karnoto Zarkasyidari Ambarawa; Dahlan Husein, Mansyur,
dan Siti Zaenah dari Palembang; Maisaroh Hilal (Cucunya Pendiri Muhammadiyah) dari
Singapura;Suwali dan Yuzdi Ghozali dari Semarang; M. Anwar, Hasan Basri,
Marwan, Zulkarnaen,Tayeb Razak,danToha Mashudi dari Malang; dan Baidron Hadi
dari Yogyakarta.
Adapun latar belakang pemikirannya dalam pendirian HMI
adalah: “Melihat dan menyadari keadaan
kehidupan mahasiswa yang beragama Islam pada waktu itu, yang pada umumnya belum
memahami dan mengamalkan ajaran agamanya. Keadaan yang demikian adalah akibat
dari sitem pendidikan dan kondisi masyarakat pada waktu itu. Karena itu perlu
dibentuk organisasi untuk merubah keadaan tersebut. Organisasi mahasiswa ini
harus mempunyai kemampuan untuk mengikuti alam pikiran mahasiswa yang selalu
menginginkan inovasi atau pembaharuan dalam segala bidang, termasuk pemahaman
dan penghayatan ajaran agamanya, yaitu agama Islam. Tujuan tersebut tidak akan
terlaksana kalau NKRI tidak merdeka, rakyatnya melarat. Maka organisasi ini
harus turut mempertahankan Negara Republik Indonesia kedalam dan keluar, serta
ikut memperhatikan dan mengusahakan kemakmuran rakyat.
Sejarah mencatat HMI telah memberikan kontribusi tidak
kecil sejak awal kelahirannya. Setidaknya itu terlihat dari tekad awal (1947)
yang tertuang dalam tujuan organisasi yang secara konsisten dilaksanakan, yaitu
mempertahankan Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia
yang sedang berjuang melawan agresi Belanda dan kondisi umat Islam yang
mengalami stagnasi.
Demikian pula ketika terjadi gerakan PKI pada 1965. HMI
menjadi satu elemen yang paling diperhitungkan, bahkan dianggap sebagai musuh
utama. Sampai-sampai DN Aidit memprovokasi anak buahnya dengan mengemukakan,
“Jika tidak bisa membubarkan HMI, lebih baik pakai sarung saja.” Berkat rahmat
Tuhan, bukan HMI yang bubar melainkan PKI yang gulung tikar.
Sampai pada dua pertiga masa kekuasaan Orde Baru, HMI
masih memperlihatkan kekuatan luar biasa. Bahkan ketika kekuasaan Orde Baru
dengan gaya represif dan otoriter ingin memaksakan kehendak agar seluruh ormas
termasuk OKP menggunakan asal tunggal Pancasila, HMI dalam kongres di Medan
(1983) dengan tegas dan suara bulat menolak. Walaupun dalam kongres berikut
(1986), HMI dengan sangat terpaksa mengakomodasi keinginan penguasa tersebut
dengan pertimbangan yang bersifat sangat politis. Dalam artian ingin
menyelamatkan wadah perjuangan HMI dari gerusan penguasa otoriter, lantaran
bila tidak mau menerima Pancasila sebagai asas tunggal HMI akan dibubarkan.
Meskipun itu harus dibayar mahal oleh HMI dengan menyempal organ HMI yang
kemudian menamakan diri HMI Majelis Penyelamat Organisasi (MPO) yang dimotori
Eggy Sudjana.
- Sejarah Singkat Perumusan NDP HMI
NDP kali pertama dikenal pada tahun 1969 pada saat
Pengurus Besar HMI yang bertempat di Jakarta dipimpin oleh Nurcholis Madjid
yang sering dikenal dengan Cak Nur, tepatnya padi Kongres ke-9 di Malang, pada
saat itu Cak Nur memberikan presentasi mengenai Nilai Dasar Islam, selanjutnya
kertas kerja yang telah disampaikan oleh Cak Nur dalam kongres tersebut dimintu
oleh peserta kongres dan selanjutnya kongres mengamanahkan untuk disempurnakan
dengan menugaskan Sakib Mahmud, Endang Syaifuddin Ashari serta konseptornya Cak
Nur.
Pada Kongres ke-10 di Palembang tahun 1971 konsep dasar
Islam ini dikukuhkan dengan nama “Nilai-Nilai Dasar Perjuangan” yang disingkat
dengan NDP tanpa perubahan isi sama sekali, adapun alasan dipilihnya nama ini
adalah: karena Nilai Dasar Islam (NDI) dianggap justru menyempitkan makna Islam
itu sendiri, apalagi mengklaim dengan nama Islam. Selain itu kata perjuangan
memiliki makna usaha yang sungguh-sungguh untuk merubah suatu keadaan, kata
perjuangan itupun terinspirasi dari sebuah kata judul sebuah buku “Perjuangan
Kita” karya Syahrir.
Adapun beberapa faktor yang melatarbelakangi lahirnya NDP
adalah sebagai berikut :
Belum adanya literature yang Memadai bagi kader HMI untuk
rujukan filsafat sosial dalam usaha melakukan aksi dan kerja kemanusiaan. Kondisi
umat Islam khususnya di Indonesia yang masih mengalami kejumudan dan kurang
dalam penghayatan serta pengamalan nilai- nilai ajaran Islam. Kaca
perbandingan, karena kader PKI mempunyai buku panduan yang dijadikan pedoman
untuk menjalankan idiologi marxisnya, maka dari mahasiswa Islam juga harus
memiliki buku panduan sebagai dasar perjuangan.
Dalam perjalanan sejarah NDP, ketika negeri ini menganut
asas tunggal yang ditetapkan oleh pemerintah yang saat itu rezim Soeharto, dengan
Orde Barunya dengan dikeluarkannya UU No. 5 Tahun 1985 tentang Asas Tunggal
Pancasila, NDP pun berubah nama lagi menjadi Nilai Identitas Kader (NIK) namun
isinya tetap tidak berubah, selanjutnya perubahan nama ini kemudian disahkan
pada kongres ke-16 di Padang.
Setelah orde baru tumbang dan alam demokrasi yang kian
berkibar, maka pada Kongres ke-22 di Jambi tahun 2000, NIK kembali menjadi nama
NDP. Kedudukan NDP : Sebagai Landasan Perjuangan, tujuan NDP : Sebagai Filsafat
Sosial.
Demikianlah perjuangan berat yang pernah dialami. Akan
tetapi setelah itu HMI terbuai lantaran kedekatannya dengan kekuasaan, bahkan
ada yang secara ekstrem menyatakan hampir tidak ada lagi sekat yang membatasi
antara HMI dan kekuasaan. Hampir dapat dipastikan hal itu lantaran pada
masa-masa tersebut banyak alumnus HMI menempati posisi-posisi strategis dalam
birokrasi pemerintahan.
- Serak Sudah Kegarangan HMI.
Dalam masa setelah roda reformasi dapat menggulingkan
komandan rezim Orde Baru, terlihat kondisi lebih buruk lagi pada HMI. Dalam
masa itu seperti yang telah saya sebutkan di atas, HMI tidak lagi menjadi
mainstream. Di tengah kebebasan dalam menyampaikan pendapat, HMI terlihat
sedemikian serak. Jarang sekali melakukan penyikapan terhadap kondisi-kondisi
sosial yang timpang termasuk dalam bentuk aksi-aksi demonstrasi atau yang lain.
Ada dua hal yang kemungkinan besar menyebabkan hal
tersebut. Pertama, telah tumpul pisau analisis yang dahulu menjadikannya
sebagai organisasi kritis. Kedua, HMI tidak lagi mampu menghimpun kekuatan
untuk menyuarakan sikapnya secara bersama-sama lantaran telah terjadi kritis
militansi. Selain itu di tengah-tengah gerakan Islam baik keagamaan maupun
politik dengan politik aliran, HMI justru kalah dengan yang lain.
Serpihan-serpihan pemikiran yang dahulu pernah
dilontarkan oleh senior-senior dan sekaligus adalah ideolog HMI seperti Ahmad
Wahib, Djohan Effendy, dan Nurcholish Madjid tidak mampu dilanjutkan oleh HMI
secara institusional sehingga HMI seakan kehilangan akar genealogisnya.
Karena itu, HMI sesegera mungkin menyadari kesalahan
langkah yang diambilnya selama ini. Jika tidak dilakukan, dalam waktu tidak
lama judul di atas akan menjadi sangat pas untuk menggambarkan kondisi HMI yang
bagaikan anak ayam yang mati bukan lantaran kekurangan makanan, melainkan
justru tertimbun padi yang menggunung di dalam lumbung yang seharusnya ia makan
dengan porsi lebih banyak.
- Kembali Kepada Khittahnya HMI
Mantan Ketua Umum PB HMI periode 1974-1976, Chumaidi
Syarif Romas melihat tantangan HMI saat ini adalah harus menegakkan identitas
kembali, hingga nilai-nilai dasar perjuangan HMI. Supaya nilai itu diterapkan
sesuai dengan kebutuhan sekarang, dan memberikan alternatif pemikiran di tengah
arus globalisasi yang sekarang terjadi. ”Apalagi tantangan HMI saat ini ialah
ditengah maraknya koruptor, kader HMI acap
mengedepankan kepentingan pribadi,” tegas Chumaidi yang juga guru besar
di UIN Yogyakarta ini. Untuk itu, menurut Pimpinan Kolektif Majelis Nasional
KAHMI 2012-2017 Taufiq Hidayat untuk kondisi akan datang, HMI harus lebih
konsern menata pengkaderannya. Pengkaderan yang dipunyai sejauh ini sudah
memberikan hasil positif di tengah masyarakat, tapi untuk tantangan jauh ke
depan, mulai harus dipikirkan perubahan-perubahannya. Kembali pada bagaimana mengintensifkan
intelektualitas kader HMI, bagaimana menguatkan network kader HMI, itu penting
untuk dijaga.
Taufiq menegaskan HMI haruslah tetap pada jalur sebagai
organisasi independen. Karena independensi itu yang memberi suatu keleluasaan
dalam bertindak, berpikir, dan dalam berkiprah di tengah masyarakat. Karena dia
tidak memandang strata dan latar belakang.
- Kondisi Mahasiswa Kekinian
Menurut saya, posisi mahasiswa saat ini ada di duaperan,
yakni sebagai penonton atau pemain. Maksudnya penonton disini adalah, mahasiswa
yang dalam tanda kutip “apatis yang dibuat - buat”. Bagaimana tidak, zaman
sekarang mahasiswa sudah dicekoki dengan trend luar seperti hiburan yang
sifatnya hura-hura, dengan spekulasi pemikiran bahwa hari ini penjajahan sudah
tidak ada dan Indonesia sudah merdeka. Inilah yang menjadikan pemikiran
mahasiswa saat ini terdogmatis oleh zaman sehingga ada hal-hal penting yang
terlupakan, yakni mahasiswa sebagai agen perubahan (pemain). Keharusan ternyata
tidak sejalan dengan kenyataan, tingkat kritis dan intelektual mahasiswa saat
ini jauh berbeda jika kita menilik sejarah dan membandingkannya. Dulu, mahasiswa
tidak memikirkan nilai IPK yang baik dan lulus tepat waktu seperti yang ada sekarang
dan ini sengaja diatur oleh pemerintah yang dalam arti lain sudah mensekat mahasiswa
untuk menimba ilmu. Bisa dikatakan bahwa budaya diskusi saat ini sudah bisa
terbilang “jadul” dan tidak zamannya. Karena, dogmatisasi seperti parpol
tentang jabatan, “mengharuskan” yang menduduki “kursi kehormatan” hanya bisa
dicapai dengan nilai, bukan kualitas. Maka tak heran bahwa mahasiswa sekarang,
kuliah hanya sekedar kuliah dan mencari IPK setinggi-tingginya dan lulus cepat
dan bekerja. Dapat saya simpulkan, mahasiswa saat ini adalah agen yang dirubah
keadaan.
Wassalam
Boestami Abdya
Kabid PPD HMI Cabang Blangpidie
Wassalam
Boestami Abdya
Kabid PPD HMI Cabang Blangpidie