26 Sep 2014

Sejarah berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam

          

        Lafran Pane, seorang mahasiswa Sekolah Tinggi Islam (STI) (kini UII- Universitas Islam Indonesia) yang baru duduk di tingkat I, mengadakan pembicaraan dengan teman-teman mengenai gagasan pembentukan organisasi mahasiswa Islam. Lafran Pane lantas mengundang para mahasiswa Islam yang ada di Yogyakarta baik yang ada di STI, Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada, Sekolah Tinggi Teknik (STT), guna menghadiri rapat, membicarakan maksud tersebut. Rapat dihadiri lebih kurang 30 orang mahasiswa, di antaranya terdapat anggota PMY dan GPII. Rapat-rapat yang sudah berulang kali dilaksanakan, belum membawa hasil, karena ditentang oleh PMY. Dengan mengadakan rapat tanpa undangan, secara mendadak, mempergunakan jam kuliah tafsir Bapak Husin Yahya almarhum ( mantan Dekan Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ), diselenggarakanlah pertemuan untuk mendeklarasikan berdirinya HMI. Yang menarik dalam rapat yang bertempat di Jl. Setyodiningratan 30 (Sekarang P. Senopati 30) dan dihadiri oleh lebih kurang dari 20 mahasiswa, Lafran Pane berkata, “Hari ini adalah pembentukan organisasi mahasiswa Islam, karena persiapan yang diperlukan sudah beres. Yang mau menerima HMI sajalah yang diajak untuk mendirikan HMI, dan yang menentang biarlah terus menentang, toh tanpa mereka organisasi ini bisa berdiri dan berjalan.” Jika diperhatikan, Penggunaan kata pada kalimat beliau terlihat bahwa ada ketegasan disana dan ini merupakan sosok pemimpin yang kuat dan bijak.

            Sementara itu, selain Lafran Pane sebagai tokoh pemula, pendiri HMI antara lain Karnoto Zarkasyidari Ambarawa; Dahlan Husein, Mansyur, dan Siti Zaenah dari Palembang; Maisaroh Hilal (Cucunya Pendiri Muhammadiyah) dari Singapura;Suwali dan Yuzdi Ghozali dari Semarang; M. Anwar, Hasan Basri, Marwan, Zulkarnaen,Tayeb Razak,danToha Mashudi dari Malang; dan Baidron Hadi dari Yogyakarta.

            Adapun latar belakang pemikirannya dalam pendirian HMI adalah: “Melihat dan menyadari keadaan kehidupan mahasiswa yang beragama Islam pada waktu itu, yang pada umumnya belum memahami dan mengamalkan ajaran agamanya. Keadaan yang demikian adalah akibat dari sitem pendidikan dan kondisi masyarakat pada waktu itu. Karena itu perlu dibentuk organisasi untuk merubah keadaan tersebut. Organisasi mahasiswa ini harus mempunyai kemampuan untuk mengikuti alam pikiran mahasiswa yang selalu menginginkan inovasi atau pembaharuan dalam segala bidang, termasuk pemahaman dan penghayatan ajaran agamanya, yaitu agama Islam. Tujuan tersebut tidak akan terlaksana kalau NKRI tidak merdeka, rakyatnya melarat. Maka organisasi ini harus turut mempertahankan Negara Republik Indonesia kedalam dan keluar, serta ikut memperhatikan dan mengusahakan kemakmuran rakyat.

            Sejarah mencatat HMI telah memberikan kontribusi tidak kecil sejak awal kelahirannya. Setidaknya itu terlihat dari tekad awal (1947) yang tertuang dalam tujuan organisasi yang secara konsisten dilaksanakan, yaitu mempertahankan Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia yang sedang berjuang melawan agresi Belanda dan kondisi umat Islam yang mengalami stagnasi.

            Demikian pula ketika terjadi gerakan PKI pada 1965. HMI menjadi satu elemen yang paling diperhitungkan, bahkan dianggap sebagai musuh utama. Sampai-sampai DN Aidit memprovokasi anak buahnya dengan mengemukakan, “Jika tidak bisa membubarkan HMI, lebih baik pakai sarung saja.” Berkat rahmat Tuhan, bukan HMI yang bubar melainkan PKI yang gulung tikar.

            Sampai pada dua pertiga masa kekuasaan Orde Baru, HMI masih memperlihatkan kekuatan luar biasa. Bahkan ketika kekuasaan Orde Baru dengan gaya represif dan otoriter ingin memaksakan kehendak agar seluruh ormas termasuk OKP menggunakan asal tunggal Pancasila, HMI dalam kongres di Medan (1983) dengan tegas dan suara bulat menolak. Walaupun dalam kongres berikut (1986), HMI dengan sangat terpaksa mengakomodasi keinginan penguasa tersebut dengan pertimbangan yang bersifat sangat politis. Dalam artian ingin menyelamatkan wadah perjuangan HMI dari gerusan penguasa otoriter, lantaran bila tidak mau menerima Pancasila sebagai asas tunggal HMI akan dibubarkan. Meskipun itu harus dibayar mahal oleh HMI dengan menyempal organ HMI yang kemudian menamakan diri HMI Majelis Penyelamat Organisasi (MPO) yang dimotori Eggy Sudjana.
  • Sejarah Singkat Perumusan NDP HMI
            NDP kali pertama dikenal pada tahun 1969 pada saat Pengurus Besar HMI yang bertempat di Jakarta dipimpin oleh Nurcholis Madjid yang sering dikenal dengan Cak Nur, tepatnya padi Kongres ke-9 di Malang, pada saat itu Cak Nur memberikan presentasi mengenai Nilai Dasar Islam, selanjutnya kertas kerja yang telah disampaikan oleh Cak Nur dalam kongres tersebut dimintu oleh peserta kongres dan selanjutnya kongres mengamanahkan untuk disempurnakan dengan menugaskan Sakib Mahmud, Endang Syaifuddin Ashari serta konseptornya Cak Nur.

            Pada Kongres ke-10 di Palembang tahun 1971 konsep dasar Islam ini dikukuhkan dengan nama “Nilai-Nilai Dasar Perjuangan” yang disingkat dengan NDP tanpa perubahan isi sama sekali, adapun alasan dipilihnya nama ini adalah: karena Nilai Dasar Islam (NDI) dianggap justru menyempitkan makna Islam itu sendiri, apalagi mengklaim dengan nama Islam. Selain itu kata perjuangan memiliki makna usaha yang sungguh-sungguh untuk merubah suatu keadaan, kata perjuangan itupun terinspirasi dari sebuah kata judul sebuah buku “Perjuangan Kita” karya Syahrir.

            Adapun beberapa faktor yang melatarbelakangi lahirnya NDP adalah sebagai berikut :

            Belum adanya literature yang Memadai bagi kader HMI untuk rujukan filsafat sosial dalam usaha melakukan aksi dan kerja kemanusiaan. Kondisi umat Islam khususnya di Indonesia yang masih mengalami kejumudan dan kurang dalam penghayatan serta pengamalan nilai- nilai ajaran Islam. Kaca perbandingan, karena kader PKI mempunyai buku panduan yang dijadikan pedoman untuk menjalankan idiologi marxisnya, maka dari mahasiswa Islam juga harus memiliki buku panduan sebagai dasar perjuangan.

            Dalam perjalanan sejarah NDP, ketika negeri ini menganut asas tunggal yang ditetapkan oleh pemerintah yang saat itu rezim Soeharto, dengan Orde Barunya dengan dikeluarkannya UU No. 5 Tahun 1985 tentang Asas Tunggal Pancasila, NDP pun berubah nama lagi menjadi Nilai Identitas Kader (NIK) namun isinya tetap tidak berubah, selanjutnya perubahan nama ini kemudian disahkan pada kongres ke-16 di Padang.

            Setelah orde baru tumbang dan alam demokrasi yang kian berkibar, maka pada Kongres ke-22 di Jambi tahun 2000, NIK kembali menjadi nama NDP. Kedudukan NDP : Sebagai Landasan Perjuangan, tujuan NDP : Sebagai Filsafat Sosial.

            Demikianlah perjuangan berat yang pernah dialami. Akan tetapi setelah itu HMI terbuai lantaran kedekatannya dengan kekuasaan, bahkan ada yang secara ekstrem menyatakan hampir tidak ada lagi sekat yang membatasi antara HMI dan kekuasaan. Hampir dapat dipastikan hal itu lantaran pada masa-masa tersebut banyak alumnus HMI menempati posisi-posisi strategis dalam birokrasi pemerintahan.
  • Serak Sudah Kegarangan HMI.
            Dalam masa setelah roda reformasi dapat menggulingkan komandan rezim Orde Baru, terlihat kondisi lebih buruk lagi pada HMI. Dalam masa itu seperti yang telah saya sebutkan di atas, HMI tidak lagi menjadi mainstream. Di tengah kebebasan dalam menyampaikan pendapat, HMI terlihat sedemikian serak. Jarang sekali melakukan penyikapan terhadap kondisi-kondisi sosial yang timpang termasuk dalam bentuk aksi-aksi demonstrasi atau yang lain.

            Ada dua hal yang kemungkinan besar menyebabkan hal tersebut. Pertama, telah tumpul pisau analisis yang dahulu menjadikannya sebagai organisasi kritis. Kedua, HMI tidak lagi mampu menghimpun kekuatan untuk menyuarakan sikapnya secara bersama-sama lantaran telah terjadi kritis militansi. Selain itu di tengah-tengah gerakan Islam baik keagamaan maupun politik dengan politik aliran, HMI justru kalah dengan yang lain.

            Serpihan-serpihan pemikiran yang dahulu pernah dilontarkan oleh senior-senior dan sekaligus adalah ideolog HMI seperti Ahmad Wahib, Djohan Effendy, dan Nurcholish Madjid tidak mampu dilanjutkan oleh HMI secara institusional sehingga HMI seakan kehilangan akar genealogisnya.

            Karena itu, HMI sesegera mungkin menyadari kesalahan langkah yang diambilnya selama ini. Jika tidak dilakukan, dalam waktu tidak lama judul di atas akan menjadi sangat pas untuk menggambarkan kondisi HMI yang bagaikan anak ayam yang mati bukan lantaran kekurangan makanan, melainkan justru tertimbun padi yang menggunung di dalam lumbung yang seharusnya ia makan dengan porsi lebih banyak.

  • Kembali Kepada Khittahnya HMI
            Mantan Ketua Umum PB HMI periode 1974-1976, Chumaidi Syarif Romas melihat tantangan HMI saat ini adalah harus menegakkan identitas kembali, hingga nilai-nilai dasar perjuangan HMI. Supaya nilai itu diterapkan sesuai dengan kebutuhan sekarang, dan memberikan alternatif pemikiran di tengah arus globalisasi yang sekarang terjadi. ”Apalagi tantangan HMI saat ini ialah ditengah maraknya koruptor, kader HMI acap  mengedepankan kepentingan pribadi,” tegas Chumaidi yang juga guru besar di UIN Yogyakarta ini. Untuk itu, menurut Pimpinan Kolektif Majelis Nasional KAHMI 2012-2017 Taufiq Hidayat untuk kondisi akan datang, HMI harus lebih konsern menata pengkaderannya. Pengkaderan yang dipunyai sejauh ini sudah memberikan hasil positif di tengah masyarakat, tapi untuk tantangan jauh ke depan, mulai harus dipikirkan perubahan-perubahannya.  Kembali pada bagaimana mengintensifkan intelektualitas kader HMI, bagaimana menguatkan network kader HMI, itu penting untuk dijaga.

            Taufiq menegaskan HMI haruslah tetap pada jalur sebagai organisasi independen. Karena independensi itu yang memberi suatu keleluasaan dalam bertindak, berpikir, dan dalam berkiprah di tengah masyarakat. Karena dia tidak memandang strata dan latar belakang.
  • Kondisi Mahasiswa Kekinian
            Menurut saya, posisi mahasiswa saat ini ada di duaperan, yakni sebagai penonton atau pemain. Maksudnya penonton disini adalah, mahasiswa yang dalam tanda kutip “apatis yang dibuat - buat”. Bagaimana tidak, zaman sekarang mahasiswa sudah dicekoki dengan trend luar seperti hiburan yang sifatnya hura-hura, dengan spekulasi pemikiran bahwa hari ini penjajahan sudah tidak ada dan Indonesia sudah merdeka. Inilah yang menjadikan pemikiran mahasiswa saat ini terdogmatis oleh zaman sehingga ada hal-hal penting yang terlupakan, yakni mahasiswa sebagai agen perubahan (pemain). Keharusan ternyata tidak sejalan dengan kenyataan, tingkat kritis dan intelektual mahasiswa saat ini jauh berbeda jika kita menilik sejarah dan membandingkannya. Dulu, mahasiswa tidak memikirkan nilai IPK yang baik dan lulus tepat waktu seperti yang ada sekarang dan ini sengaja diatur oleh pemerintah yang dalam arti lain sudah mensekat mahasiswa untuk menimba ilmu. Bisa dikatakan bahwa budaya diskusi saat ini sudah bisa terbilang “jadul” dan tidak zamannya. Karena, dogmatisasi seperti parpol tentang jabatan, “mengharuskan” yang menduduki “kursi kehormatan” hanya bisa dicapai dengan nilai, bukan kualitas. Maka tak heran bahwa mahasiswa sekarang, kuliah hanya sekedar kuliah dan mencari IPK setinggi-tingginya dan lulus cepat dan bekerja. Dapat saya simpulkan, mahasiswa saat ini adalah agen yang dirubah keadaan.


Wassalam


Boestami Abdya
Kabid PPD HMI Cabang Blangpidie

Tidak ada komentar:

Posting Komentar