8 Okt 2015

Aceh Barat Daya Dalam Lintasan Sejarah Dan Kehidupan Masyarakatnya


Memahami asal-usul penduduk yang mendiami pantai Barat Daya Aceh, mulai dari ujung Manggeng hingga Ujong Raja sampai saat ini masih mengandalkan sumber lisan dan sumber tertulis yang sangat terbatas. Menurut tradisi lisan, penduduk yang pertama mendiami daerah tersebut adalah orang Batak yang mereka kaitkan dengan keberadaan nama topografi suatu tempat seperti Guha Batak di pedalaman Blangpidie. Koloni orang Batak itu dikalahkan oleh para pendatang baru yang berasal dari Sumatera Barat maupun dari daerah Aceh sendiri.
Suku Minangkabau dari Sumatera Barat bermigrasi ke daerah itu yang diperkirakan terjadi pada bagian kedua abad ke-17, karena semenjak Belanda menduduki Sumatera Barat melalui Traktat Painan tahun 1663, orang Aceh yang sebelumnya mengontrol daerah tersebut dan orang Minangkabau yang tidak mau tunduk kepada Belanda merantau ke pantai Barat Aceh. Sebagian di antara mereka ada yang membangun koloni di Susoh dan sebagian lainnya di Meulaboh atau di tempat lain. Bersamaan dengan itu, daerah tersebut didatangi pula orang Aceh yang berasal dari Aceh Besar dan Pidie dengan maksud membuka perkebunan (seuneubok) lada yang hingga awal abad ke-19 merupakan tanaman ekspor penting di Aceh.
Koloni Minangkabau dan Aceh itu membangun komunitas mereka terutama pada muara-muara sungai setempat, antara lain Lama Tuha, Kuala Batu, Susoh, Suak, Lhok Pawoh dan Pasi Manggeng. Lambat laun pemukiman itu berubah menjadi suatu pemerintahan lokal yang berdiri sendiri, tetapi berada di bawah lindungan Kerajaan Aceh Darussalam. Namun demikian, ada juga di antara mereka yang berhasil melakukan konsolidasi kekuasaan berkat kegiatan perniagaan lada sebagaimana yang terjadi dilakukan Lebe Dafa di Susoh dan Datuk Besar di Manggeng pada permulaan abad ke-19. Datuk Besar yang konon kabarnya enggan membayar upeti kepada Sultan Aceh sehingga Sultan Alauddin Jauhar al-Alamsyah (1795-1824) cukup marah dan memutuskan berlayar sendiri untuk menyerang Datuk Besar di negeri Manggeng tersebut.
Aksi penertiban yang dilakukan oleh Sultan itu, bukan berarti bahwa kerajaan-kerajaan kecil itu secara mutlak dapat dikontrol oleh pusat kerajaan di Bandar Aceh Darussalam. Di daerah ini misi dagang Inggris, Amerika dan Belanda dapat secara leluasa memasuki pelabuhan-pelabuhan di pantai Barat Daya pada permulaan abad ke-19. Sebagaimana yang dilakukan oleh John Anderson yang pernah menyinggahi pelabuhan Manggeng, Susoh, Kuala Batu dan Seumayam.

A.   Penyerangan Amerika ke Kuala Batu

Pada tanggal 3 Februari 1831 terjadi konflik antara anak buah kapal dagang Amerika Serikat “Friendship” dengan penduduk Kuala Batu yang bermuara pada insiden bersenjata. Akibat dari insiden tersebut, Bandar Kuala Batu diserang hingga hancur oleh armada Amerika Serikat “Potomac” pada tanggal 6 Februari 1832.
Susoh yang merupakan sebuah teluk yang tenang, pada abad ke-18 dan awal abad ke-19, merupakan salah pusat perdagangan di pantai Barat Aceh yang sentralnya di pelabuhan Kedai Susoh. Penduduk-penduduk yang ada di sana kemudian menyebar ke berbagai daerah di pantai Barat tersebut. Hal itu seperti yang dilakukan oleh Leube Dafa dan Basa Bujang, yang sudah sejak lama menetap di Susoh, kemudian bermigrasi ke Trumon dan Singkil. Hal seperti itu juga disebutkan oleh Kapten Canning yang pernah meninjau Aceh atas perintah Gubernur Jenderal Hindia, di Kalkuta, India, menyebutkan bahwa Lebe Dafa menguasai pelabuhan di pantai Selatan maupun Barat Aceh, seperti Singkil, Ayam Dammah, Trumon, Rambong, Seuleukat, Susoh dan Kuala Batu. Basa Bujang dan Lebe Dafa pindah ke Trumon dan karena kekayaannya lalu mendirikan kerajaan di Trumon. Lebe Dafa kemudian kawin dengan puteri Raja Singkil dan menjadi kaya bahkan tidak lama setelah itu menjadi raja di daerah itu.
Susoh sebagai pusat perdagangan dengan beberapa negeri di sekitarnya, seperti Kuala Batu, Blangpidie, Lhok Pawoh Utara (Tangan-Tangan) dan Manggeng, serta dengan negeri Gayo Lues (Patiambangan). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Susoh pada waktu itu merupakan mata rantai perniagaan di pantai Barat Daya Aceh, bahkan kenegerian-kenegerian yang ada di pantai Barat Daya itu secara politik dahulunya termasuk wilayah Susoh. Menjelang penaklukan kerajaan Aceh oleh Belanda, di pantai Barat Daya telah berdiri sejumlah kenegerian yang berdiri sendiri di bawah payung Kerajaan Bandar Aceh Darussalam. Menurut Van Langen (1888), Asisten Residen Aceh Barat 1881-1886, Susoh terletak di Teluk Susoh, sebelah Timur berbatasan dengan Blangpidie dan sebelah Barat dengan Samudera Hindia (Samudera Indonesia).
Tidak lama kemudian datang lagi orang-orang dari Minangkabau dan diizinkan oleh Datuk Bagak bermukim di daerah itu untuk bertani lada. Mereka berasal dari Suku Kabung (Kampar), yang dipimpin oleh Datuk Marah Padang yang mendirikan Kampung Durian Rampak. Setelah itu datang lagi para petani Rawo dari Pariaman, yang dipimpin oleh Datuk Mageh Kesumba dan meminta izin kepada Datuk Bagak untuk bertani di pedalaman Susoh, selanjutnya menjadi pendiri Kampung Rawa. Datuk Baginda yang mempunyai keluarga di Seunagan di bawah pimpinan Datuk Binca, juga datang ke Susoh dan mendirikan Kampung Paoh.
Pada waktu itu, orang Minangkabau berada dalam lingkungan yang wilayahnya dikuasai oleh orang-orang Aceh dan kebebasannya terbatas, namun mereka masih dapat mempertahankan adat-istiadat dan hubungan kekeluargaan tetap berlaku seperti di negeri asalnya.
Bentuk pemerintahan pada waktu itu dijabat oleh dua Datuk. Datuk Bagak dari Kampong Barat yang bergelar Datuk Tua berkedudukan di Susoh, sedangkan yang kedua dijabat oleh Datuk Baginda dari Kampong Pinang. Selain itu, datuk-datuk dari Kampong Durian Rampak dan Kampung Rawa berada di bawah Datuk Tua, sedangkan Datuk Kampong Pawoh berada di bawah Datuk Baginda. Silsilah para Datuk yang memerintah di Kenegerian Susoh hingga tahun 1888 adalah sebagai berikut;
·         Keturunan Datuk Tuha (Datuk Bagak) yang memerintah selama 50 tahun, yaitu Datuk Buluh, Datuk Menggalam, Datuk Muhammad Yatim. Mereka menjadi pemimpin Datuk Negeri Susoh dengan gelar Datuk Tuha.
·         Keturunan Datuk Baginda, yaitu Datuk Baginda Raja, Datuk Poh, Datuk Keng, Datuk Medan, serta Datuk Nyak Din. Mereka menjadi pemimpin negeri Susoh dengan gelar Datuk Baginda.
·         Keturunan dari Datuk Kabong, yaitu Datuk Merah Padang, Datuk Makah, Datuk Falib, dan Datuk Derham. Mereka menjadi Datuk Kampong Durian Rampak, dengan gelar Datuk Baru.
·         Keturunan Datuk Rawa, yaitu Datuk Mageh Rawa, Datuk Baren, Datuk Yamah, Datuk Marah Alam. Mereka menjadi pemimpin Kampong Rawa.
·         Keturunan Datuk Paoh, yaitu Datuk Binca, Datuk Ampek Suku, Datuk Kedusun, Datuk Kecil Lintang, Datuk Kesiring, dan Datuk Asim. Mereka menjadi pemimpin Kampong Paoh, dengan gelar Datuk Ampek Suku.
Pada masa pemerintahan Sultan Ibrahim (Alaiddin Mansur Syah 1836-1870) beliau pernah mengirim sebuah ekspedisi penertiban ke negeri Susoh yang dipimpin oleh pangeran Tuanku Husen, dikarenakan negeri ini tidak membayar pajak yang telah ditentukan kepada wilayahnya. Dalam penyerangan itu, pasukan kerajaan Aceh dibantu oleh Datuk Keng dari keturunan Datuk Baginda. Sementara itu, Susoh dipimpin oleh Datuk Kepala keturunan Datuk Tuo. Peperangan berakhir setelah negeri ini kembali menghormati ketentuan yang ditetapkan oleh Kerajaan Aceh.
Perkembangan Susoh sangat dipengaruhi oleh kenegerian-kenegerian di sekitarnya, seperti Negeri Kuala Batu, Pulo Kayee, Kuta Batee (Blangpidie), Tangan-Tangan, dan Manggeng. Di antara penduduk Susoh dengan penduduk di kenegerian sekitarnya terdapat hubungan kekeluargaan, walaupun sudah agak berjauhan silsilahnya. Mata pencaharian utama adalah pertanian sawah, perikanan (nelayan) dan perdagangan. Hasil di bidang perikanan banyak dipasarkan ke berbagai pelabuhan di Aceh hingga ke dataran tinggi Gayo. Kenegerian Susoh telah menandatangani Korte Verklaring dengan Belanda pada tanggal 24 Februari 1874.
Kuala Batu merupakan bumper dari Negeri Susoh yang dipimpin oleh Keucik Karim. Ia merupakan ketua kelompok petani yang berasal dari Pidie. Setelah mendapatkan izin dari Datuk Susoh, ia dan kerabatnya membuka perkebunan lada di Lama Inong, pedalaman Kuala Batu. Permintaan izin disetujui dengan syarat harus membayar pajak kepada Datuk Susoh dan Sultan Aceh. Leube Daffa ayah Raja Basa Bujang, sebagai pemerintah di negeri Trumon, merupakan wakil Sultan Aceh yang mengutip pajak di daerah pesisir Barat. Keucik Karim yang bergelar Teuku Lama membayar seluruh pajak yang menjadi kewajibannya, namun lambat laun dalam hasil panen selanjutnya tidak mau mengirim upeti lagi kepada Sultan. Demikian juga kapal-kapal yang seharusnya memuat lada melalui pelabuhan Susoh mulai dialihkan ke Kuala Batu, sehingga Kenegerian Susoh mengalami kerugian.
Dalam bisnis pelayaran dan perdagangan, Tuanku Samike mendapat laba yang banyak dari komisi dan biaya angkutan kapal. Ia kemudian berunding dengan Datuk Susoh untuk menjadikan Kuala Batu sebagai pelabuhan resmi. Tugas itu kemudian diserahkan kepada anaknya, Teuku Nyak Haji dan Raja Bujang. Namun, cukup disayangkan karena terlebih dahulu dia meninggal, sehingga pelaksanaan perjanjian itu menjadi terhalang.
Mata pencaharian penduduk di negeri Kuala Batu adalah perkebunan lada, menanam padi, mengumpulkan hasil hutan dan perdagangan maritim yang berpusat di pelabuhan Kuala Batu. Pelabuhan ini pernah menjadi pusat perdagangan internasional, namun pelabuhan tersebut diserang oleh armada Amerika Serikat dengan kapal Potomac pada tahun 1832. Hal itu berkaitan karena peristiwa sebelumnya, berupa penyanderaan kapal dagang Amerika Serikat, Frienship, yang ingin menyeludupkan lada dari pelabuhan Kuala Batu oleh masyarakat. Kenegerian Kuala Batu menandatangani perjanjian Korte Verklaring pada tahun 1881 sebagai tanda tunduk kepada pemerintah Belanda. Perjanjian itu ditandatangani oleh Raja Sulaiman.

B. Perkembangan Kenegerian Kuta Batee (Blangpidie)

Secara geografis kenegerian Blangpidie pada mulanya termasuk wilayah kenegerian Susoh. Pada mulanya orang yang mendiami daerah itu, terutama daerah sebelah Utara adalah orang dari Suku Batak dan Gayo. Namun mereka terdesak oleh penduduk yang datang kemudian, yaitu orang Minangkabau. Orang dari Aceh Besar di bawah pimpinan Teungku Di Lhong. Sedangkan orang dari Pidie yang dipimpin oleh Teuku Lampoh Deu yang mendiami di Hulu Susoh pada dataran rumput yang terletak di daerah Kuta Batee (kota Blangpidie sekarang), membuka lahan persawahan di sana. Setelah itu datang pula Teuku Ben Agam juga dari Pidie mendiami daerah Pulo Dua. Pada sekitar abad ke-19, datang pula Teuku Keucik Bo Kuta, dan mendiami daerah Kutatinggi. Sementara Panglima Langsa mendiami daerah Lampoh Drien (Meudang Ara), sedangkan Pang Ujoh mendiami daerah Kutatuha.
Pada mulanya setiap pendatang itu membentuk koloni permukiman yang terlepas satu sama lain dan saling curiga-mencurigai, sehingga sering terjadi peperangan antarkelompok di sana. Peperangan terus berlanjut dan baru berakhir setelah Tuanku Husin bin Sultan Ibrahim (Alaiddin Mansursyah 1836-1870), dapat mendamaikan keduabelah pihak yang bertikai dan sekaligus mengakui bahwa kenegerian Blangpidie di bawah Teuku Ben Agam terlepas dari Kenegerian Susoh. Setelah Teuku Ben Agam meninggal dunia, lalu digantikan oleh anaknya Teuku Ben Abbas, dan seterusnya digantikan oleh anaknya Teuku Ben Mahmud.
Pada masa kecil Teuku Ben Mahmud bertindak sebagai pemangku raja, sedangkan dalam mengendalikan pemerintahan adalah Teuku Raja Sawang, uleebalang Kenegerian Pulo Kayee. Ketika Teuku Ben Mahmud berperang melawan Belanda, lalu Teuku Raja Sawang bertindak atas nama uleebalang Blangpidie yang menandatangani surat perjanjian Korte Verklaring pada tahun 1880.
Pada tahun 1908 Teuku Ben Mahmud dikembalikan haknya sebagai uleebalang Blangpidie, setelah berdamai dengan pihak Belanda. Hubungan antara uleebalang Blangpidie dengan uleebalang Pulo Kayee bermula dari tokoh pendiri kenegerian Pulo Kayee yang bernama Teuku Nyak Syech yang menikahi Nyak Buleun, cucu tertua dari Teuku Ben Agam, uleebalang kenegerian Blangpidie yang pertama.
Teuku Ben Mahmud memerintah atas penunjukan dari Sultan Aceh, dengan gelar Teuku Ben Mahmud Setia Raja, sekitar tahun 1885. Sedangkan berdasarkan besluit Belanda untuk kenegerian Kuta Bate Blangpidie dijabat Teuku Raja Sawang berdasarkan Korte Verklaring Pulo Kayee tahun 1884. Dengan permintaan kepada Pemerintah Hindia Belanda bahwa negeri Kuta Bate (Blangpidie) dan Pulo Kayee merupakan negeri mandiri yang berdiri sendiri-sendiri. Pengukuhan perjanjian itu dituangkan dalam Akta No.10 tanggal 15 Juni 1901, ketika Teuku Raja Cut memerintah. Akan tetapi Akta persetujuan tersebut tidak sempat dilaksanakan karena terjadi kematian Teuku Raja Cut, sehingga lama-kelamaan keturunan Teuku Ben (Teuku Ben Agam, Teuku Ben Abah dan Teuku Ben Mahmud) dianggap sebagai penguasa terhadap kedua kenegerian tersebut.

C. Kedatangan dan Penyebaran Cina di Blangpidie

Sejarah kedatangan Cina di Blangpidie berdasarkan sumber oral history lokal dan Said Abubakar dalam bukunya Berjuang Untuk Daerah: Otonomi Hak Azazi Insani yang diterbitkan oleh Yayasan Nagasakti Banda Aceh pada tahun 1995. Berdasarkan oral history yang pernah diketahui disebutkan bahwa kedatangan Cina pada awalnya dikarenakan keterlibatan mereka dalam pembangunan Tangsi Militer Belanda di Kuta Batee (Blangpidie) dan pembangunan rumah uleebalang Susoh Datuk Nyak Raja. Hal itu diperkuat dengan keberadaan Datuk Nyak Raja yang merupakan seorang uleebalang dan merangkap sebagai seorang kontraktor yang sukses karena kedekatannya dengan kolonial sehingga ia juga dipercayakan dalam pembangunan tangsi militer Belanda di kota Blangpidie sekitar tahun 1900. Selain itu, ia juga dipercayakan oleh Belanda dalam pembangunan jalan raya mulai dari Blangpidie hingga ke Seumayam, di perbatasan dengan kabupaten Nagan Raya sekarang.
Pada saat itu Belanda banyak mempekerjakan para buruh dan pekerja dari Cina di dalam pengerjaan kontruksi bangunan bahkan rumah pribadi Datuk Nyak Raja di Pante Perak Susoh (yang pernah digunakan sebagai kantor Komisi Independen Pemilihan Umum Kabupaten Aceh Barat Daya) juga dibangun oleh tukang-tukang dari Cina. Sejak saat itu banyaklah datang pedagang Cina terutama dari Sibolga dan Padang untuk dapat berdagang di sana.
Sejak adanya tangsi Belanda di Kuta Batee Blangpidie maka dimulailah aktivitas kolonial Belanda di Blangpidie dan sejak saat itu pula aktivitas Cina di kota ini dalam membangun komunitas usaha dan perdagangan di sekitar tangsi yang digunakan sebagai pasar tradisional dalam mempertemukan antarpembeli dan penjual, walaupun keberadaan mereka saat itu masih sangat sedikit. Sejakpenandatanganan Korte Verklaring di Pulo Kayee oleh pengampu Kuta Batee Raja Sawang maka sejak tanggal 9 Maret 1874, penggantian nama kota ini menjadi Blangpidie dimulai.
Seiring dengan semakin membaiknya pertumbuhan kota Blangpidie yang ditopang oleh perekonomian berbasis pertanian sawah pada masa lalu sehingga terkenal dengan “brand image” sebagai daerah breuh sigeupai yaitu suatu jenis varietas padi unggulan di daerah itu yang sangat terkenal ke seluruh Aceh bahkan luar daerah seperti  Singkil dan SumateraBarat.

D.   Kehidupan Masyarakat Aceh Barat Daya Dan Keahlian Bedagang.

Munculnya plantation perkebunan kelapa sawit dan karet di perkebunan Seumayam membuat denyut perekonomian di kota Blangpidie semakin membaik dan stabil. Hal ini ikut mendorong semakin ramainya komunitas pedagang di kota Blangpidie pada saat itu sehingga Blangpidie tumbuh sebagai pusat keramaian dari aktivitas perdagangan lokal yang difasilitasi dengan pasar, sekolah, usaha pertanian, perkebunan, pertukangan, dan peternakan. Sejak saat itu, pusat kota Blangpidie didatangi para investor yang ingin berdagang di sana termasuk keberadaan pedagang Cina. Mereka menempati toko-toko di sekitar tangsi seperti jalan Perdagangan, jalan Sentral, jalan Persada dan sedangkan pedagang lokal lebih banyak berkonsentrasi di sekitar Pasar Ikan Lama dan jalan Selamat di kota Blangpidie.
Permasalahan utama yang kerap terjadi di kota Blangpidie adalah kebakaran, di mana di kota ini telah terjadi berulang kali kebakaran yang menghanguskan kota ini karena disebabkan penggunan kontruksi bangunan pertokoan yang berbahan baku kayu. Hal ini menyebabkan sering terjadi perubahan pada struktur “wajah” bangunan toko sehingga tidak diketahui wujud asli keseluruhannya lagi kecuali deretan toko yang membanjar dari Barat ke Timur di Jalan Selamat yang dapat bertahan hingga akhirnya satu per satu mengikuti kontruksi permanen dengan pola bangunan ruko yang berlantai satu, dua, bahkan sampai tiga seperti sekarang ini sejak tahun 2000-an pasca kebakaran besar pada sekitar tahun 1998. Sekarang ini, selain berdagang, mereka juga mengusahakan sarang burung walet pada bagian tertinggi toko yaitu lantai tiga dan empat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar