19 Des 2016

Ku Injak kaki Bumi Yang Tak Bertepi (Part I)

Suara zikir alam keluar dari makhluk Tuhan tanpa suara yang lantang, nyanyian malam membawa ku ke pembaringan untuk menikmati sisa waktu untuk melepas kepenatan ku pada siang. Hanya saja mata yang terus memaksa untuk tetap terjaga mengenang tahun demi tahun yang telah berlalu. Kehidupan yang ku lalu terasa serba sederahana, Dimana saat masa kanak - kanak yang sering menikmati fajar pagi di tengah sawah yang dibajak bersama sosok laki - laki yang bertubuh ramping namun kekar bak baja logam hitam nan murni.

ya… dia adalah sosok ayah yang selalu membimbing dengan sikap disiplin dan penuh tanggung jawab. pada usia kanak - kanak, ayah mengajarkan kepada ku tentang arti sebuah kehidupan. tak sadar ingatan ku semakin jelas dan terang mengenang sosok beliau, ayah yang setiap pagi selalu menyiapkan peralatan kerja dan tak ketinggalan sebuah cangkir besar berukuran satu liter didalamnya sudah tersedia kopi hitam buatannya sendiri. 

tepat pada jam 5.30 WIB beliau sudah memangkul tas berisi 3 bungkus nasi yang sudah dicampur air garam, serta pakaian lusuhnya untuk bekerja. Nasi dicampur air garam? ya…. nasi itu sebenarnya diberikan untuk kerbau kami yang tugasnya sehari - hari bertugas membajak sawah. suara langkah ayah terdengar ketika beliau mulai keluar rumah saat saya sedang bertugas membantu ibu membersihkan rumah. 

Ayah yang sedari tadi berdiri berjalan keluar sambil memanggil ku untuk ikut bersama beliau. “Nak…. sudah selesai kah tugas mu? saya yang dari sudah mempersiapkan bekal sambil berkata “Sudah Yah!!. Baiklah sekarang kita ambil kerbau dulu ke kandangnya, jangan lupa kita beri di makan pagi, kalau tidak cacing diperutnya perang dunia”, kata ayah sambil terkekeh tertawa.

Setelah selesai memberikan makan kerbau, kami bergegas ke sawah walaupun fajar belum menampakkan sinarnya. itulah alam desa, ketika sawah bak kota di pagi hari dengan berbagai aktifitasnya, kami disawah tak ubahnya seperti kota. Dimana setiap pagi orang sudah ramai di sawahnya masing - masing dengan berbagai kegiatan, ada yang membajak sawah, catok ateung blang (membersihkan pematangan sawah) dan teumabu bijeuh (Semai benih). Kini, disawah giliranku mengaliri sawah agar sewaktu ayah membajak sawah tanahnya tidak terlalu keras dan kerbau kami tidak cepat capek. Tugas ku pun selesai, saya takjub melihat kerbau kami yang begitu besar, sampai - sampai saya meminta naik atas pundaknya, yaaahhh,,, ayaaah saya naik atas pundak kerbau boleh ya? namun dengan penuh kelembutan ayah mengatakan “nak.. ketika makhluk Tuhan diberikan kekuatan bukan berarti kita bias semena - mena, coba bayangkan kerbau kita sedang bekerja untuk memenuhi kebutuhan kita, namun kita malah membuat dia jera, bagusnya sekarang kamu hidupin api biar ada asap dengan begitu tidak banyak nyamuk yang menggigit kerbau kita” sebagai bocah kecil, saya tentu belum puas dengan jawaban ayah. Namun tetap nurut apa yang dikatakan beliau. 

Tak terasa matahari mulai panas, menandakan sudah waktunya istirahat. Ayah yang dari tadi menyadari sudah saatnya istirahat, mulai melepaskan tali pengait bajak dari kerbau. dan mengikat kerbau disisi parit yang berair dekat sawah kami. Agar kerbau bisa beristirahat sambil menikmati segarnya air. Ayah mengajak ku ke Gubuk ditengah sawah kami yang sengaja dibuat untuk kami berteduh. Disitulah saya kembali bertanya, “ayah kenapa saya ngak boleh menaiki kerbau yang sedang bekerja”? sambil sesekali memandang kerbau yang sedang menghempaskan ekor ke tubuhnya.

Ayah dengan sabar menjelaskan dengan bijak “Nak.. Allah menciptakan makhluknya untuk saling menimbang rasa, sama halnya dengan manusia tatkala dia sedang bekerja dia akan merasakan begitu capeknya bekerja, sampai - sampai terkadang kita sendiri butuh istirahat sepertinya kita sekarang ini” sambil beliau sesekali meneguk kopi yang dari tadi sudah dingin. “Hanya saja kerbau tidak bisa berpikir dan berucap, beda dengan manusia yang diberikan akal oleh Allah untuk berpikir, maka dari itu manusia harus menggunakan akalnya untuk kebaikan” sambung beliau. Dari itulah saya sedekit demi sedkit mulai menyadarinya.

Waktu istirahat sudah berlalu, kini ayah kembali membajak sawah sampai tengah hari, ketika matahari mulai tepat diatas kepala kami, Ayah mulai berhenti dan melepaskan tali pengait bajak tadi dari kerbau. beliau menyuruh saya untuk memasukan peralatan tadi ke dalam tas, dan kami pulang sambil membawa kerbau untuk diikat di sungai belakang rumah kami.

Sesampai dirumah saya bergegas mengambil peralatan mandi untuk ikut bersama ayah mandi disungai, karena tempat mandi kami agak jauh dari rumah, ayah seringkali menggedong saya dipunggungnya untuk melewati jalan yang banyak ditumbuhi tumbuhan berduri seperti putri malu. 

Selesai mandi ayah seringkali tidak langsung pulang kerumah, tapi beliau singgah ke mushala/meunasah untuk shalat tentu semua peralatan shalat sudah dibawa sama ayah, begitu juga halnya dengan saya, karena sudah tahu ayah pasti singgah dulu untuk shalat. Setelah shalat dan berzikir ayah mengajak ku kembali kerumah. sesampai dirumah kami makan siang bersama ada ayah dan ibu. ibu yang sudah menunggu daritadi mulai menyiapkan makanan buat kami, ada sayur bening, ikan asin dan sedikit cemilan. Saya sungguh bersyukur kepada Allah atas limpahan rezeki dan diberikan orang tua yang begitu sederhana namun penuh dengan kasih sayang. selesai makan, saya mencoba rebahkan tubuh ditikar padan yang dibelikan ibu dari pedagang keliling, sambil merebahkan tubuh saya tetap mengambil buku bacaan apapun untuk dibaca, kadang - kadang buku Pendikan Moral Pancasila (PMP) sampai terkadang tanpa sadar saya tertidur sambil buku diatas dada. 

Kenangan itu menerawang jauh, tanpa sadar malam sudah berganti pagi, saat itulah saya mulai tersadar untuk harus memajam mata karena besoknya saya kerja.
Dalam tulisan ini memang kurang membahas tentang ibu, bukan berarti berbeda dengan ayah, hanya saja saya focus kan diri untuk mengenang ayah yang sudah tidak bersama kami lagi. karena malam ini adalah dimana malam dilahirkan. sehingga tulisan ini special untuk mu ayah, walau engkau tak akan pernah membacanya. 

“Happy birthday … dad” I will remember you in my life.

Waktu berjalan begitu cepat
Menikam waktu dan kenangan yang kugenggam bersama ayah
Bermain dengan puisi bisu saat aku beku
Hilang kosong di tangan yang raib.



Boestami Abdya/20/12/2016


                                         Continues Part II

Tidak ada komentar:

Posting Komentar